Senin, 26 November 2012

Penantian Diujung Senja


By:Ryani Al Khansa


"Jika kehidupan ini sebuah drama dan kita pemerannya, maka harus menjadi pemain yang lihai yang bisa ber-akting dalam segala adegan sesuai skenario Tuhan sebagai sutradara kita.''

Jika kita bisa memilih, jika kita mampu berkuasa, jika kita tau apa yang akan terjadi esok, mungkin setiap orang akan memilih tersenyum bahagia hidup damai berkecukupan bersama seluruh anggota keluarga. Tapi itu tak mungkin, hidup ini sudah ada yang mengatur, pahit, manis, dan airmata. Kita harus tabah menjalaninya. Entah seberat apapun itu, kita sebagai manusia hanya bisa menjalani hidup ini atas nafas yang telah Tuhan berikan.

"Percayalah selama Tuhan masih memberi nafas pada kita, berarti Dia meyakinkan kita untuk lebih kuat menjalani hidup. Karena Dia takkan memberi cobaan kalau kita tak mampu memikulnya.'' Ya itulah sebait kata yang diucapkan dari seorang yang sudah tua , Pak Bejo namanya.

Pak bejo atau lebih pantas dipanggil kakek karena sudah berumue 70 tahun. Pak Bejo tak srbejo atau seberuntung namanya. Pandangannya redup matanya berkaca-kaca ketika mengingat kejadian dan nasib yang kini beluau alami. Pak bejo muda dan istri yaitu Bu Narti berserta 4 orang anaknya hidup bahagia dan boleh dibilang berkecukupan. Mereka tinggal dikota Malang. Pak bejo sangat bersyukur mempunyai istri yang solehah dan anak-anak yang penurut serta pintar. Disuatu hari pak bejo dan istrinya sedang duduk santai di teras sambil berbincang-bincang, ''Bu, Bapak bahagia dan bersyukur sekali pada Tuhan, karena Dia telah menganugerahkan seorang istri solehah dan anak-anak yang pintar, semoga kelak kalau mereka telah dewasa menjadi orang-orang yang sukses dan berbakti kepada orang tua ya Bu?'' Kata Pak Bejo.

"iya Pak, amin ya rabalalamin. Cepat diminum kopinya Pak, nanti keburu dingin.'' Kata Bu Narti.

Kehidupan keluarga itu mereka lalui dengan suka cita. Tak terasa bulan tahunpun berlalu dengan cepat, kini anak-anak Pak Bejo telah dewasa, bekerja dan bahkan sudah menikah, hanya tinggal si bungsu Rani. Dari saat itulah mulai penderitaan Pak Bejo dan istri. Ketika itu si bungsu Rani menikah dan dia berencana tinggal bersama suaminya. Pak Bejo dan Bu Narti berharap mereka mau tinggal bersamanya.

"Rani, Sigit, apa tidak sebaiknya kalian tinggal disini bersama Bapak dan Ibu, kamu anak perempuan satu-satunya dikeluarga ini, lagipula kakak-kakak kamu semua telah berkeluarga dan tinggal jauh jarang kesini. Biar nanti rumah ini ramai oleh canda dan tawa cucu-cucu Bapak kelak Naj.'' Pinta Pak Bejo pada Rani dan Sigit.

Namun Rani menjawab, ''Maaf Pak Bu, Rani dan Mas Sigit sudah berencana untuk tinggal di Madiun, karena dekat dengan tempat kerja Mas Sigit.''

Apa boleh buat akhirnya kedua orangtua itu menyetujui dan merelakan demi kebahagiaan mereka berdua.Kini hari-hari Pak Bejo dan Bu Narti semakin sepi tanpa anak-anak dan cucu-cucu mereka. Dulu Pak Bejo bekerja sebagai sopir bus, karena usia semakin tua beliau berhenti dan sekarang hanya bekerja sebagai tukang becak. Bu Narti berjualan gorengan dipinggir jalan dekat rumah, dimana seharusnya mereka menikmati hari tuanya menimang cucu tapi kini harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidul, dan entah mengapa juga kini anak-anak mereka semakin jarang berkomunikasi atau bahkan menjenguk mereka. Pak Bejo dan Bu Narti semakin sedih memikirkannya.

"Bu, Bapak rindu sekali sama anak-anak dan cucu-cucu kita Bu, kenapa mereka sudah lama tak berkunjung kesini ya?'' Keluh Pak Bejo.

"Sabarlah Pak, mungkin mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, nanti kalau liburan tiba pasti mereka kesini,'' jawab Bu Narti walau dalam hati beliau juga sangat rindu.

Saat itu ketika Pak Bejo sibuk dengan pekerjaannya, tak tahu kenapa pikiran beliau gelisah tak menentu dan takut akan terjadi sesuatu, rekan-rekannya pun menyarankan agar srgera pulang. Maka sekitar jam 4 sore beliau putusksn pulang.

"Assalamu'alaikum, Bapak pulang Bu.'' Salam beliau dari luar rumah kepada isterinya, namun tak ada sahutan. Lalu beliau masuk rumah tak juga melihat Bu Narti, lalu betapa terkejutnya Pak Bejo saat melihat istrinya tergeletak di dapur.

"Bu.. Ibu kenapa? Bangun Bu.'' Panggil Pak Bejo dengan tetes air mata yang tak mampu dibendungnya. Segera Pak Bejo keluar rumah untuk mencari bantuan pada tetangga. Lalu dengan segera Bu Narti dibawa ke rumah sakit.

Setelah tak berapa lam, dokter kelyar dan berkata, ''Maaf ya Pak, Bapak yang sabar, kami sudah berusaha namun nyawan istri Bapak sudah tidak tertolong. Istri Bapak terkena serangan jantung, ikhlaskan beliau pergi Pak.''

"Innalillahi wainnaaillaihi rojiun.'' Jawab Pak Bejo yang tak mampu berkata-kata lagi. Beliau terligat tegar dan ikhlas walau meneteskan air mata karena belahan jiwanya telah pergi untuk selamany.

Setelah dokter menyatakan Bu Narti meninggal, Pak Bejo segera menghubungi anak-anaknya. Setelah jenazah dimandikan dan disolatkan, rencannya akan segera dimakamkan namun berhubung sudah malam, akhirnya ditunda sampai besuk pagi karena anak Pak Bejo yang diluar kota belum datang.

Keesokan harinya pemakamn berjalan lancar, tapi anak-anak Pak Bejo juga berkemas untuk segera pulang kerumah masing-masing, seakan tak ikut merasa kehilangan atas kepergian ibu mereka. Pak Bejo sudah membujuk agar menungu hingga hari ke-7 sekaluan mengadakan tahlilan dan yassin bersama. Tapi apa kenyataannya, anak-anaknya banyak beribu alasan entah sibuk dengan pekerjaan dan lain srbagainya. Akhirnya Pak Bejo tak bisa berbuat apa-apa. Acara tahlilan beliau lakukan dengan para tetangga.

Setahun telah berlalu semenjak kepergian Bu Narti, Pak Bejo masih setia dengan becak usangnya, hari-hari beliau merasa kesepian dan semua beliau lakukan sendiri. Entah apa penyebabnya anak-anak Pak Bejo setelah kepergian Bu Narti, mereka bagai tak peduli dengan nasib ayah mereka, jangankan menjenguk, telepon, atau sekedar berkirim suratpun tidak. Lambat laun Pak Bejo merasa badannya kurang sehat, ketika hendak mengayuh becaknya beliau terjatuh dan pingsan, lalu rekan-rekannya segera membawa beliau ke dokter. Dari hasil pemeriksaan, Pak Bejo terkena strok dan badan sebelah kirinya sulir untuk digerakkan. Beliau semskin sedih dengan keadaanya.

Sore itu saat Pak Bejo duduk di teras rumah, anak ketiganya yang bernama Adi datang. Betapa bahagiannya hati Pak Bejo melihat Adi datang serta membawa oleh-oleh apek kesukaannya. Malamnya sehabis makan, kedua laki-laki itu berbincang-bincang diruang tamu, Adi berkata kepada Pak Bejo, ''Apa tidak sebaiknya Bapak tinggal bersama kami saja, lagipula Bapak sakit tak ada yang merawat,'' Dalam hati Pak Bejo senang sekali Adi bilang begitu.

"Apa sudah kau bicarakan dengan istrimu Nak?'' Jawab Pak Bejo.

"Sudah Pak, Lina dengan senang hati menyambut kehadiran Bapak, tapi....'' Suara Adi terputus.

"Tapi kenapa Nak?'' Tanya Pak Bejo ingin tahu.

"Rumah kami tidak begiti besar Pak, dan kamar buat Bapak belum ada. Bagaimana kalau rumah Bapak ini dijual saja, hasil prnjualannya digunakan untuk memperbaiki rumah dan membuat kamar untuk Bapak, agar nanti Bapak merasa nyaman. Lagipula kalau Bapak nanti tinggal bersama kami, rumah inikan kosong tak ada yang menempatinya bukan?''

Setelah mendengar usul dari Adi, Psk Bejo terdiam sebentar untuk berpikir, lalu menjawab, ''Baiklah Nak, tetapi apa tidak sebaiknya saudara-saudaramu yang lain diberitahu dulu lal kita musyawarahkan bersama?''

"Buat apa Pak, itu tidak perlu, lagipula mereka sudah tidak peduli dengan Bapak.'' Jawab Adi.
Akhirnya Pak Bejo menyetujui usul dari Adi.

Singkat cerita, setelah rumah Psk Bejo digadaikan, uang hasil penggadaian diberikan pada Adi untuk memperbaiki rumah dan membuat kamar seperti yang direncanakan. Sementara Pak Bejo masih tinggal dirumahnya sambil menunggu, namun hingga satu dua dan tiga bulanpun berlalu, Adi tak nampak batang hidungnya, memberi kabarpun tidak dan susah untuk dihubungi, sehingga membuat Pak Bejo gelisah. Sementara orang yang membeli rumahnya sudah mau menempati dan pada akhirnya Pak Bejo diusir oleh pemilik rumah baru itu. Pak Bejo bingung harus kemana, lalu beliau berusaha menghubungi anak-anaknya yang lain, namun apa yang beliau dapatkan ternyata mereka tak ada yang peduli dengan Pak Bejo, mereka marah hanya lantaran mereka tidak mendapatkan bagian dari hasil penjualan rumah dan tak terlebih dahulu memberitahu mereka.

Pak Bejo sungguh bingung meski kemana. Sangat malang nasibnya terkadang beliau tidur diemper-emperan toko, jika malam dingin Pak Bejo merasa tulang-tulangnya sakit atas penyakit strok yang dideritanya. Warga dan tetangga merasa iba dan kasihan dengan keadaan Pak Bejo, akhirnya mereka bergotong royong mendirikan gubug kecil untuk berteduh Pak bejo disamping sebuah pabrik disekitar tempat tinggalnya. Setidaknya ada tempat untuk berlindung dari terik dan hujan. Didalam gubug kecil itu hanya terdapat satu ranjang tidur, satu kursi dan meja serta kamar mandi sederhana. Untuk makan sehari-hari, beliau hanya menunggu belas kasihan dari para tetangga. Terkadang nasi 1 piring harus beliau cukupkan untuk 1 hari dan mencuci baju beliau menggunakan tangan kanannya.

Pak Bejo sangat sedih dengan keadaannya yang selalu merepotkan para tetangga. Walau begitu beliau tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai muslim untuk menjalankan sholat lima waktu. Beliau berharap dan berdoa agar cepat sembuh dan bisa bekerja seperti dulu lagi. Tapi itu hal yang tidak mungkin dengan penyakir yang dideritanya, hanya keajaiban dan kuasa Tuhanlah yang bisa menolong. Beliau juga berharap agar Tuhan segera membuka pintu hati anak-anaknya untuk ingat akan ayahnya.

"Nak, aku masih Bapakmu, tidak ingatkah kalian pada Bapak? Masih ingatkah saat-saat dulu kita berkumpul dan bercanda bersama? Tidak adakah sepercik rindu untuk Bapak?''

THE END

Powered By Aris Wong Elek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda...jika ada yang masih kurang akan selalo kami perbaiki...